SEBUAH KEMATIAN

Bulan April 2009 merupakan bulan ujian bagi keluarga besar MAN 1 Kota Mojokerto. Pada awal bulan Saya dan Bu Milda harus mulai aktif menjadi CPNS di sekolah kami masing-masing. Saya harus mulai bertugas di SMAN 1 Pacet, sedangkan Bu Milda di SMKN 2 Jombang. Sedangkan Pak Dedi tinggal menghitung hari untuk bertugas di Kediri. Saya harus meninggalkan para siswa yang seharusnya momen akhir untuk menghantarkan mereka ke gerbang ujian nasional. Pada pertengahan bulan, siswa kelas XII MAN 1 Kota Mojokerto mengikuti Ujian Nasional yang untuk pertama kalinya harus bisa menembus nilai rata-rata 5,25 dari enam mata pelajaran. Padahal untuk tahun lalu yang tiga mata pelajaran dan nilai rata-rata cuman 5,0 saja ada dua siswa tidak lulus.
Ujian lebih berat lagi terjadi pada hari ini, Jumat 24 April 2009. Sekitar pukul 15.30 HP saya menerima beberapa SMS dari guru-guru MANSA KOTA yang bunyinya hampir sama: “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Pada hari ini Pak Tihin meninggal dunia karena kecelakaan.”
Sungguh langsung bergetar diri saya. Langsung terbayang raut wajahnya. Senyuman dan sapaan yang selalu dia berikan kepada para rekannya. Sepeda motornya yang khas dengan logo PRAMUKA dan raungannya dapat terdengar walaupun saya waktu itu duduk di dalam kantor. Teringat ketika datang ke rumah malam-malam minta diterapi bersama Pak Giatno sama-sama pakai sarung karena menyiapkan acara di MANSA KOTA untuk keesokan harinya. Teringat juga ketika dia minta tolong saya untuk melihat emaknya yang habis jatuh. Entah, biasanya saya paling malas untuk dimintai menerapi ke rumah. Tapi waktu itu saya dengan cepat menyetujuinya. Kami berboncengan ke rumahnya. Saya tetap berusaha nerapi emaknya walaupun dalam hati saya menilai kondisinya sudah sulit disembuhkan. Saya melihat waktu itu dia sangat bersemangat memegang emaknya dan berusaha menghibur supaya cepat sembuh. Dia sangat bangga bisa membawa saya untuk menerapi emaknya. Sangat terlihat di wajahnya. Sehingga waktu itu sampai saat Pak Tihin meninggal saya tidak tega mengatakan bahwa emaknya sudah sulit disembuhkan. Waktu itu satu rupiah pun saya tidak menariknya. Sepulangnya saya dibosi makan kikil Ngabar yang katanya terkenal. Waktu itu adalah saat yang paling dekat antara saya dengan Pak Tihin.
Dalam perjalanan ke rumah duka saya berangkat bersama Pak Ari, Pak Hari, Pak Dedi, Pak Didin beserta ayahnya (Pak Zaenal). Kami sudah berusaha secepat mungkin. Sampai di sana sekitar jam 17.15 tapi apa daya untuk melihat jasadnya pun tidak ada yang sempat. Pak Solikin, Abah Rofik, Pak Giatno dan Pak Kosim S,Ag. yang datang lebih dulu saja sudah tidak sempat melihat jasadnya. Hanya Pak Didin yang sempat melihat ketika disemayamkan di rumah sakit di Mojosari, tempat Pak Tihin ditabrak. Pak Ari bercerita sempat ketemu terakhir di musholla MANSA. Pak Dedi cerita terakhir duduk bareng di musholla MANSA. Pak Solikin cerita besok rencananya menghitung headset Lab Bahasa MANSA. Semuanya tinggal kenangan terakhir. Tinggal di depan saya seonggok timbunan tanah membujur dari utara ke selatan dengan dua batu nisan di dua ujungnya dengan tulisan yang tertutupi tanah basah tapi masih bisa terbaca dengan jelas ‘TIHIN’.
INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI’UN.
Kedungmaling, 24 April 2009. 23:15

 

Reader Comments